Benturan kepentingan merupakan salah satu hambatan dalam keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (good governance) yang selama ini terjadi baik pada lembaga pemerintah maupun swasta karena perbuatan tersebut dapat berkait dengan tindak pidana korupsi. Untuk mengatasi, mengendalikan, dan mencegah masalah ini, pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah mengeluarkan Peraturan Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Penanganan Benturan Kepentingan. Diberikan pengertian bahwa benturan kepentingan adalah situasi dimana penyelenggara Negara memiliki atau patut diduga memiliki kepentingan pribadi terhadap setiap penggunaan wewenang sehingga dapat mempengaruhi kualitas keputusan dan/atau tindakannya. Ini pola pikir dan sikap yang sudah lama mengakar dari penyelenggara Negara sehingga harus disingkirkan dan cepat dirubah menjadi budaya kerja yang melayani kepentingan dan harapan publik agar terhindar adanya kerugian Negara dan masyarakat yang dirugikan.
Tujuan ini tercapai apabila setiap penyelenggara Negara memiliki “jiwa integritas tinggi”, “sikap profesionalme”, “terpercaya”, dan “responsibilitas” yang teruji kejujuran, mentalitas dan dedikasinya sebagai pengabdi kepentingan bangsa dan Negara sehingga terhindar dari kepentingan pribadi atau mengutamakan permintaan kelompok tertentu. Tidak hanya berlaku bagi lembaga eksekutif mulai pemerintah pusat hingga pemerintah daerah, tak terkecuali bagi pengadilan sebagai lembaga yudikatif yang memiliki potensi melakukan “Benturan Kepentingan” karena hakim dan panitera termasuk penyelenggara Negara memiliki tugas dan tanggung jawab dalam memutus perkara yang rawan tidak independen.
Apabila diidentifikasi bentuk benturan kepentingan (conflik of interest) di Pengadilan Tinggi Bandung meliputi sebagai berikut :
1. Proses penyelesaian perkara perdata dan pidana yang dibantu Panitera Pengganti dalam penjatuhan putusan tidak sesuai dengan kebebasan hakim karena adanya pengaruh dari pihak berperkara seperti gratifikasi. Termasuk hakim dalam memberikan petunjuk penanganan pelaksanaan putusan perdata (eksekusi) oleh pengadilan negeri.
2. Di Pengadilan Negeri suatu perkara diputus oleh seorang hakim sebagai anggota majelis, pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi hakim tersebut ditetapkan sebagai Ketua Majelis menangani perkara yang sama atau seorang Hakim di Pengadilan Tinggi ditetapkan untuk memeriksa suatu perkara pidana terkait dengan perkara perdata yang telah diputus sebelumnya. Menghindari adanya benturan kepentingan, maka Hakim yang bersangkutan untuk mengundurkan diri menangani perkara tersebut dengan diganti oleh Hakim Tinggi yang lain.
3. Membocorkan atau menyampaikan isi putusan pengadilan kepada pihak berperkara atau siapapun sebelum pengucapan/pembacaan putusan yang terbuka untuk umum.
4. Membantu pihak berperkara untuk kepentingan proses persidangan secara komersial, seperti : membuat surat gugatan, jawaban, replik, duplik, kesimpulan, memori banding, kontra memori banding, memori kasasi, kontra memori kasasi, memori peninjauan kembali, dan kontra memori peninjauan kembali.
5. Dalam pemeriksaan dan rekomendasi pada Laporan Hasil Pemeriksaan terhadap Terlapor atau Terkait untuk kasus pengaduan dapat terjadi tidak obyektif (non akuntabel) yang mencederai netralitas. Termasuk dalam melakukan kegiatan pengawasan reguler dan asesmen serta rapat KEKA Akreditasi Penjaminan Mutu. Misal tidak mengikuti prosedur karena adanya pengaruh dan harapan dari pihak yang diawasi atau dinilai;
6. Penyalahgunaan jabatan karena ada kesempatan untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak tertentu atau menggunakan diskresi dengan menyalahgunakan wewenang sehingga menyimpang dan melanggar sumpah jabatan yang diucapkan pada saat pelantikan.
7. Penggunaan fasilitas Negara berupa aset Barang Milik Negara (BMN) tidak untuk kegiatan menunjang pelaksanaan tugas dan tanggung jawab jabatan atau pekerjaan, melainkan digunakan untuk kepentingan keluarga (Isteri atau suami dan/atau anaknya).
8. Perekrutan tenaga honorer (kontrak) dilakukan secara tertutup. Tidak melalui proses seleksi yang diumumkan secara terbuka luas kepada pencari kerja sehingga dampak negatifnya tidak dapat menjaring tenaga honorer yang terbaik dan dibutuhkan (kualified). Ini disebabkan adanya kepentingan hubungan darah, hubungan perkawinan maupun hubungan pertemanan.
9. Disparitas Pelayanan Pengaduan dan Pemberian Informasi serta pelayanan pada meja PTSP kepada pengguna pengadilan sehingga tidak setara dan tak memenuhi rasa keadilan. Misal karena melakukan komersialisasi pelayanan publik;
10. Pengadaan barang untuk inventaris kantor tidak sesuai ketentuan atau tidak mengikuti mekanisme atau prosedur yang telah ditetapkan sehingga kualitas barang yang diperoleh tidak memenuhi standar.
11. Pemilihan dan penetapan personil pengadilan untuk menunjang suatu kegiatan atau program tidak sesuai kemampuan, kapasitas, dan kapabilitasnya.
12. Segenap pimpinan dan aparatur Pengadilan Tinggi Bandung berkomitmen dan berpartisipasi saling mendukung untuk melaksanakan program benturan kepentingan. Warga masyarakat dapat melaporkan atau memberikan keterangan tentang adanya dugaan benturan kepentingan oleh aparatur pengadilan.
Upaya tindak lanjut oleh pimpinan pengadilan adalah sebagai berikut :
1. Upaya preventif terhadap kemungkinan terjadinya benturan kepentingan, maka pimpinan akan melakukan penelaahan terhadap potensi benturan kepentingan tersebut dengan membuat rekomendasi agar dilakukan tindak lanjut untuk pencegahan.
2. Terhadap benturan kepentingan yang telah dilakukan atau terjadi, maka ditempuh berbagai langkah berupa : pengurangan tugas, mengalihtugaskan, pengunduran diri atau mekanisme pemeriksaan dan dijatuhkan sangsi terhadap pelaku yang terbukti bersalah sesuai peraturan yang berlaku.
Keberhasilan penanganan benturan kepentingan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai diperlukan keaktifan partisipasi masyarakat, juga evaluasi secara terprogram terus dilakukan agar diketahui berbagai kekurangan untuk pembenahan dan penyempurnaan.