KETUA MA : HATI-HATI PUTUS PERKARA PERDATA TERKAIT KEWENANGAN MENGADILI
27Jan
Padang—Humas: Mahkamah Agung kembali menyelenggarakan Pembinaan Bidang Teknis dan Administrasi Yudisial. Kali ini diselenggarakan untuk para pimpinan pengadilan tingkat banding dan tingkat pertama di wilayah Sumatera Barat dan Jambi dan dipusatkan di Kota Padang (23-24/01/2020). Dalam kesempatan tersebut Pimpinan Mahkamah Agung secara bergantian menyampaikan materi pembinaan bidang teknis dan administrasi yudisial kepada para peserta.
Salah satu poin penting yang mengemuka dalam acara tersebut adalah terkait pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad). Hal ini berkaitan pula dengan kesimpulan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 yang berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2019 yang diberlakukan sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan.
Ketua Kamar Tata Usaha Negara, Prof. Dr. Supandi, S.H., M.H., menjelaskan bahwa Perma Nomor 2 Tahun 2019 diterbitkan untuk menindaklanjuti diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang salah satunya mengatur bahwa tindakan administrasi pemerintahan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam penjelasan umum undang-undang tersebut dijelaskan bahwa dalam rangka memberikan jaminan perlindungan, maka undang-undang tersebut memungkinkan warga masyarakat untuk mengajukan gugatan terhadap keputusan dan/atau tindakan badan dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena undang-undang tersebut merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara.
“Dengan berlakunya Perma Nomor 2 Tahun 2019, maka Peradilan Tata Usaha Negara berwenang mengadili sengketa perbuatan melanggar hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, yang didalamnya mengandung tuntutan untuk menyatakan tidak sah dan/atau batal tindakan Pejabat Pemerintahan, atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat beserta ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ganti rugi yang dapat diberikan tidak hanya terbatas sebanyak lima juta rupiah sebagaimana dipahami sebelumnya, tetapi meliputi sejumlah kerugian termasuk juga kerugian immateril”, papar Supandi
Sementara itu, menanggapi pertanyaan salah seorang peserta pembinaan, Agung Darmawan, S,H., dalam sesi tanya jawab, Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. M.Hatta Ali, S.H., M.H. menjelaskan, bahwa hakim peradilan umum harus berhati-hati dalam memutuskan masalah kewenangan absolut terkait masalah Onrechtmatige Overheidsdaad yang biasa disingkat OOD ini. “Hakim harus benar-benar melihat jangan asal ada Kantor Pertanahan sebagai pihak dalam perkara perdata, lantas dinyatakan sebagai kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara. Harus dipelajari betul, apakah perkara tersebut benar perkara OOD atau hanya masalah administratif dan terkait dengan sengketa kepemilikan”.
Peringatan Hatta Ali ini sesungguhnya juga berkaitan dengan SEMA Nomor 2 Tahun 2019 yang menyebutkan, bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019, “sengketa yang bersifat keperdataan” dan/atau “bersumber dari perbuatan cidera janji (wanprestasi) oleh penguasa” tetap menjadi kewenangan absolut pengadilan perdata dalam lingkungan peradilan umum. (Humas/Dwi Hananta)